“Banyak orang yang mau bicara, tapi tidak mau berfikir”
Jika kita bicara tentang filsafat, maka yang terbayang adalah sebuah ilmu yang rumit dan abstrak bagi sebagian orang. Terlebih lagi ketika kita melihat para ahli filsafat yang sering berseliweran di media seperti Rocky Gerung, Emha Ainun Nadjib, Sudjiwo Tedjo dan kawan-kawan. Meskipun demikian, di balik kompleksitasnya ia juga merupakan kunci yang bisa menuntun kita untuk membuka gerbang pemahaman kehidupan yang lebih mendalam serta memicu kita untuk memiliki pemikiran yang lebih kritis.
Tujuan utama dari belajar filsafat adalah untuk mempelajari metodologi berfikir kritis, syukur-syukur bisa menjadi filsuf. Perlu dibedakan antara filsuf dengan ahli filsafat. Ahli filsafat adalah orang yang belajar dan paham akan teori-teori filsafat, seorang ahli filsafat belum tentu seorang filsuf begitu pula sebaliknya. Adapun filsuf adalah individu yang bisa mengkreasikan pemikirannya ke dalam bentuk ide-ide. Dengan belajar filsafat, kita dilatih untuk menganalisis argumen, melakukan evaluasi serta kritis terhadap informasi yang didapatkan. Kemampuan tersebut sangat diperlukan di era informasi seperti yang terjadi saat ini.
Mungkin kita juga sering mendengar informasi seperti keharaman filsafat atau pelabelan filsafat sebagai ilmu yang berbahaya. Oleh karena itu, perlu dibedakan antara filsafat sebagai produk pemikiran dengan filsafat sebagai metodologi berfikir. Sebagai produk pemikiran, terdapat gagasan atau pemikiran dari para filosof seperti Socrates, Plato, atau Decartes, yang mana beberapa gagasan beberapa filosof seringkali tidak sesuai dengan keyakinan sebagian orang, hal inilah yang mendasari ungkapan filsafat sebagai ilmu yang berbahaya hingga haram. Namun, jika kita melihat sebagai metodologi berfikir untuk menganalisa suatu argumen dan informasi, maka filsafat adalah ilmu yang perlu untuk dipelajari.
Filsafat lahir ketika manusia mulai mempertanyakan jawaban bersifat mistis terhadap berbagai problematika kehidupan. Ketika manusia tidak lagi puas dengan jawaban bahwa cuaca buruk penuh petir disebabkan oleh pertengkaran Thor dengan Zeus, atau gelombang besar disebabkan oleh Poseidon yang sedang marah. Keraguan yang didorong oleh rasa ingin tahu ini kemudian memicu manusia untuk beralih dari mitos atau legenda menuju logos, yaitu pemikiran dan penalaran yang logis.
Untuk memasuki dunia filsafat, yang diperlukan adalah kebijaksanaan, rasionalitas, dan rasa ingin tahu. Dengan berfilsafat, kita didorong untuk tidak menjalankan hidup secara asal-asalan. Filsafat membantu kita untuk meneliti validitas dari konsep-konsep yang ditemukan serta melatih kita untuk membuat suatu argumen yang logis dan koheren untuk mendukung suatu gagasan. Dengan berlatih dalam membangun argumen ini, kita bisa melakukan refleksi untuk setiap pilihan dan tindakan kita. Refleksi yang mendalam ini pada akhirnya akan memunculkan transformasi, yaitu perubahan positif pada cara hidup dan diri kita secara keseluruhan.
Terdapat tujuh ciri berfikir filsafat, antara lain:
Radikal,
Komprehensif,
Kritis,
Konseptual,
Koheren,
Sistematis,
Bebas dan bertanggung jawab.
Untuk mengembangkan kemampuan kita dalam berfikir, tentu diperlukan dedikasi dan latihan. Bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti mengasah rasa ingin tahu dengan selalu bertanya “mengapa” dan melakukan analisis terhadap informasi yang diterima secara objektif. Selain itu, kita juga bisa mendiskusikan ide-ide yang didapat dengan orang lain, sebagaimana disebutkan oleh Rocky Gerung:
Pikiran baru disebut pikiran ketika dipertengkarkan. Jika tidak ingin dipertengkarkan, itu namanya anda sedang berdoa.
Belajar filsafat tentu merupakan suatu jalan panjang yang berliku, bahkan tidak ada ujungnya. Namun hal tersebut akan sebanding dengan manfaatnya. Dengan membuka pintu gerbang filsafat, kita dapat menjelajahi lautan pengetahuan dan mengembangkan pemikiran kritis yang bisa membantu kita untuk lebih memahami diri sendiri, dan makna hidup kita di dunia.